Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai stuktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas.
Akhir-akhir in, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Dalam ranah komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengendepankan pendekatan atau aktivitas komunikasi. Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tepi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologi).
Dalam prespektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Framing juga bisa melakukan pendekantan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh media massa ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang hendak dibawa ke mana berita tersebut. Karenanya, berita menjadi manipulasi dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang ligitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.
Gamson dan Modigliani, menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (packge) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberi tekanan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa berkaitan dengan objek suatu wacana.
Secara sosiologi menurut Ervin Goffman, konsep frame analysis memelihara kelangsungan kebiasaaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup untuk dapat memahaminya.Skemata interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi, dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta informasi.
Berdasarkan konsep psikologi, framing dilihat sebagai pempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu dalam penarikan kesimpulan.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, pertama seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Prespektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya, dan dibuangnya. Dibalik semua ini, pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita.
Penonjolan ini, merupakan proses membuat informasi menjadi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu punya peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas.
Pada dasarnya, pola penonjolan tersebut tidaklah dimaknai sebagai bias, tetapi secara ideologis sebagai strategi wacana: upaya menyungguhkan pada publik tentang pandangan tertentu agar pandanganya lebih diterima.
Konsep framing, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan the power of a communication text. Framing analysis dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer ( atau komunikasi) informasi dari sebuah lokasi, pidato, ucapan/ungkapan, news report, atau novel. Framing, menurut Entman, secara esensial meliputi penseleksian dan penonjolan.
Yang menjadi prinsip analisis framing adalah bahwa wartawan bisa menerapkan standar kebenaran, matriks objektivitas, serta batas-batas tertentu dalam mengolah dan menyuguhkan berita. Dalam mengkonstruksi suatu realitas, wartawan juga cenderung menyertakan pengalaman serta pengetahuannya yang sudah mengkristasl menjadi skemata interpretasi. Dengan skemata ini pula wartawan cenderung membatasi atau menyeleksi sumber berita, menafsirkan komentar-komentar sumber berita, serta memberi porsi yang berbeda terhadap tafsir atau prespektif yang muncul dalam wacana media.
Pada dasarnya, pekerjaan media massa adalah mengkonstruksilkan berbagai realitas. Isi media adalah hasi para pekerja mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Setiap media massa bebas memilih fakta yang akan dipakai dalam teks yang akan dibuat tergantung pada institusi masing-masing media massa. dengan adanya kebebasan membuat wacana tersebut kita dengan - metode analisis framing - dapat mengetahui tujuan setiap media dibalik teks yang dibuatnya.
Dengan analisis framing kita dapat melihat bagaimana media memposisikan dirinya terhadap satu peristiwa dan bagaimana media memberitakannya, apakah bersifat memihak atau independen.
Analisis Framing
Reviewed by Komhum
on
September 03, 2015
Rating:
No comments: